Kepala BPN Konawe Bantah Soal Isu Mafia Tanah
Kepala Kantor Kementerian ATR/ BPN Konawe Muhammad Rahman |
Beredar isu ada mafia tanah di Kantor Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).
Kepala Kantor Kementerian ATR/ BPN Konawe Muhammad Rahman membantah kebenaran isu tersebut.
Ia juga mengklarifikasi sejumlah isu yang menyudutkan ATR/ BPN Konawe.
Rahman menegaskan, tak ada oknum BPN Konawe yang terlibat dalam mafia tanah.
"Khususnya di lokasi rencana pembangunan Bendungan Pelosika di Desa Ambondia. BPN seperti yang dituduhkan Mafia tanah, itu adalah sekelompok orang maupun kelompok yang melakukan permufakatan jahat dengan objek berupa aset tanah milik orang lain," ujar Rahman.
Rahman menambahkan, pemilik yang telah menjual tanah siap menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sultra.
"Saya menghimbau juga kepada masyarakat untuk tidak terlalu gampang mengeluarkan statemen terkait mafia tanah. Akan tetapi jika memang ada oknum BPN yang terlibat mafia tanah, kementerian ATR/BPN dibawah kememimpinan Bapak Menteri Hadi Tjahjanto tidak akan segan untuk memberikan sanksi terberat kepada yang mencoba melakukannya," ujarnya.
Ia tidak membantah bahwa beberapa pegawai BPN Konawe memiliki sertifikat di sekitaran Bendungan Pelosika.
Namun, menurut Rahman, itu murni hasil pembelian yang diperoleh dengan itikad baik, bukan merampok atau mencaplok milik orang.
"Dan tidak ujuk-ujuk langsung punya tanah di sana. Para penjual tanah siap mempertanggungjawabkan atas tanah yang telah mereka jual kepada oknum BPN yang dituduhkan," sambungnya.
Rahman menilai, peristiwa yang terjadi di Desa Ambondia merupakan konsekuensi atas rencana pembangunan Bendungan Pelosika yang sedikit hari lagi akan memasuki tahap pelaksanaan pengadaan tanah dan ganti rugi.
Sehingga, kata dia, muncul beberapa persoalan terkait sengketa pertanahan khususnya kepemilikan dan penguasaan tanah.
Jika masuk kawasan hutan, Rahman memastikan, tidak akan dilanjutkan prosesnya.
"Oleh karena itu tuduhan mereka yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Asinua Menggugat (AMAM) bahwa kami menerbitkan sertifikat dalam kawasan hutan adalah tidak benar dan penuh kebohongan," imbuhnya.
Rahman berharap, para penuding mempunyai data yang bisa ditunjukkan pada saat RDP nanti.
"Jika mereka tidak menunjukannya maka itu adalah suatu fitnah yang keji," ujarnya.
Rahman juga menegaskan bahwa isu oknum BPN menerbitkan sertifikat dalam hutan lindung adalah fitnah.
"Saya sudah cek datanya semua sertifikat yang kami keluarkan di Desa Ambondia, tidak ada satupun yang berada di dalam kawasan hutan," kata Rahman.
Ia membenarkan bahwa BPN Konawe mengukur lahan di dalam kawasan hutan. Itu dilakukan karena pengukuran tanah harus berdasarkan penunjukan batas-batas tanah oleh pemohon sertifikat.
Namun, kata Rahman, bukan berarti kalau sudah diukur langsung terbit juga sertipikatnya.
"Data hasil pengukuran tersebut masih diolah dan ditumpangtindihkan dengan peta kawasan hutan dari BPKH. Terlebih saat ini kami sudah diberikan peta SHP kawasan hutan dari BPKH Provinsi Sulawesi Tenggara tahun 2021," katanya.
Terkait tudingan BPN membagikan tanah milik seseorang, kata Rahman, juga pernyataan yang menyesatkan.
Menurutnya ada kekeliruan yang muncul ketiak petugas BPN Konawe melakukan pengukuran tahan.
"Masa petugas yang turun mengukur dainggap membagi-bagikan tanah, bisa gak dibuktikan BPN membagi tanah di Desa Ambondia, kalo itu tidak bisa berarti itu adalah fitnah," kata Rahman lagi.
Ia juga membantah isu oknum BPN bekerja sama dengan pemerintah Kecamatan dan Lurah Ambondia dalam menerbitkan Surat Keterangan Tanah (SKT).
Rahaman menjelaskan, SKT hanya dokumen tambahan untuk BPN, tak menjadi dasar lahirnya sertifikat.
"Janganlah orang BPN turun mengukur tanah berdasarkan penunjukan si pemohon sertifikat kemudian anggota saya dituduh bekerjasama," sebutnya.
Menurut Rahman, selama ini masyarakat di Desa Ambondia dan Desa Asipako menyambut baik pengukuran tanah.
Terlebih penerbitan sertifikat bertujuan memberikan kesejahteraan dalam arti luas.
"Tetapi kalau dengan sertifikat justru menyengsarakan masyarakat atau menjadi polemik, maka buat apa kami turunkan program pensertifikatan tanah di sana," tuturnya.
Rahman juga menambahkan bahwa BPN Konawe siap menghadiri RDP di DPRD Provinsi Sulawesei Tenggara.
"Supaya masyarakat atau lembaga, khususnya dari Aliansi Masyarakat Asinua Menggugat (AMAM), tidak terlalu gampang mengeluarkan pernyataan yang sifatnya mendeskreditkan BPN Konawe dengan kata-kata mafia tanah," tegasnya.
RDP dengan DPRD Provinsi Sultra juga dipandang perlu, demi menjaga kepercayaan masyarakat yang bermukim di dekat lokasi pembangunan Bendungan Pelosika.
"Kami pastikan dan berjanji jika sudah pada tahap pelaksanaannya, dimana BPN sebagai Ketua Panitia Pengadaan Tanah, akan bekerja dengan transparan, terbuka, dan tidak ada hak-hak masyarakat yang terzalimi," imbuhnya.
sumber: tribun
Komentar
Posting Komentar